Tantangan Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Pidana: Antara Inovasi Teknologi dan Kepastian Hukum

Legal Plus - Tantangan Bukti Elektronik

Tantangan bukti elektronik menjadi isu penting dalam pembuktian perkara pidana di Indonesia. Saat ini chat, email, rekaman digital, dan log server kerap dijadikan alat bukti yang menentukan arah putusan. Namun, hal ini juga memunculkan berbagai persoalan baru. Mulai dari keabsahan data, keamanan informasi, hingga keterbatasan pemahaman teknis aparat penegak hukum atau profesional hukum. Dengan begitu, hukum acara pidana di Indonesia pun dihadapkan pada tuntutan besar, yakni bagaimana menjaga keadilan dan kepastian hukum di tengah arus digitalisasi.

Peran Hukum Acara Pidana dalam Sistem Peradilan

Hukum acara pidana merupakan tulang punggung sistem peradilan pidana. Dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa hukum acara pidana menjadi landasan untuk mengatur proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan pelaksanaan putusan agar berlangsung sesuai dengan asas, prosedur, hak, dan kewajiban sesuai dalam undang-undang.

Dalam era modern yang serba cepat, hukum acara pidana tidak bisa berjalan statis. Oleh sebab itu, adaptasi terhadap perkembangan teknologi informasi menjadi keharusan agar sistem hukum tetap relevan, adil, dan efektif. Ketika alat bukti bergeser dari fisik ke elektronik, proses hukum perlu menyesuaikan agar tidak tertinggal dari realitas.

Evolusi Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Sebelum era digital, pembuktian perkara pidana bergantung pada alat bukti konvensional. Misalnya, dokumen tertulis, saksi, dan barang bukti fisik. Model ini menekankan pembuktian yang berwujud fisik dan dapat diverifikasi secara langsung. Namun saat ini, dengan pesatnya transformasi digital, bukti elektronik muncul dan menandai babak baru dalam sistem pembuktian pidana. Keberadaan bukti elektronik ini diakui secara sah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan bahwa bukti elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti surat dalam KUHAP selama memenuhi syarat keaslian dan integritas.

Perubahan bukti ini memengaruhi cara penyidik, jaksa, dan hakim dalam menilai alat bukti. Sebelumnya, keaslian bukti dapat dinilai secara visual atau fisik. Namun, kini proses verifikasi harus dilakukan melalui digital forensik. Selain itu, bukti elektronik harus dijaga dalam rantai penguasaan yang sah (chain of custody) agar tidak terjadi perubahan tanpa izin selama proses hukum.

Penilaian alat bukti oleh hakim juga tidak lagi hanya mengandalkan kesaksian manusia. Namun, hakim perlu memahami konteks teknis dari bukti elektronik yang diajukan. Dengan demikian, hukum acara pidana dan aparat penegak hukum harus beradaptasi dengan realitas digital yang serba cepat dan kompleks. Bahkan aparat penegak hukum harus memiliki pemahaman tentang cara kerja data, keamanan siber, dan prosedur forensik digital agar proses pembuktian tetap sah dan adil.

Evolusi pembuktian dalam hukum acara pidana bukan hanya persoalan perubahan bentuk alat bukti, tetapi juga perubahan paradigma. Di sinilah letak inti dari tantangan bukti elektronik, yaitu memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak melemahkan prinsip keadilan dalam penegakan hukum.

Bukti Elektronik dalam Perspektif Hukum Indonesia

Menurut UU ITE, bukti elektronik adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat digunakan sebagai alat bukti hukum. Jenisnya bisa beragam, seperti chat, email, rekaman panggilan, log server atau metadata, serta rekaman video dan audio.

Bukti elektronik dianggap sah dalam proses pembuktian apabila memenuhi syarat integritas, keaslian, dan keterkaitan dengan pihak yang bersangkutan. Tantangan muncul ketika bukti tersebut berpindah tangan atau disimpan di sistem asing tanpa pengawasan yang memadai. Oleh sebab itu, masalah rantai penguasaan dan pemeliharaan bukti elektronik (chain of custody) menjadi sangat penting karena validitas bukti bisa dipertanyakan di pengadilan apabila integritas rusak.

Tantangan Bukti Elektronik dalam Praktik Hukum

Tantangan bukti elektronik tidak hanya muncul pada aspek teknis, tetapi juga menyentuh dimensi hukum, etika, tata kelola lembaga penegak hukum.

1. Keaslian dan Integritas Bukti

Tantangan utama dalam penggunaan bukti elektronik adalah menjamin keaslian dan integritas data. Hal ini disebabkan oleh sifat data digital yang mudah disalin, diubah, atau dimanipulasi tanpa meninggalkan jejak yang kasat mata. Misalnya, file rekaman dapat dimodifikasi menggunakan aplikasi sederhana, sehingga menimbulkan keraguan terhadap validitas bukti.

Dengan demikian, dalam memastikan keaslian dibutuhkan penerapan forensik digital dan hash verification untuk memverifikasi apakah bukti elektronik yang diserahkan ke pengadilan identik dengan data asli yang ditemukan saat penyidikan. Namun, belum semua aparat penegak hukum memiliki sarana dan keahlian teknis untuk melakukan proses ini secara konsisten. Akibatnya, bukti yang seharusnya kuat bisa kehilangan nilai pembuktiannya karena rantai keasliannya tidak terjaga sejak awal.

2. Keamanan Siber

Ketika bukti elektronik disimpan, dipindahkan, atau diakses selama proses hukum berlangsung, keamanan siber menjadi hal yang krusial. Banyak lembaga penegak hukum belum memiliki protokol keamanan data yang terstandar. Akibatnya, risiko kebocoran atau peretasan informasi sangat tinggi. Padahal, kebocoran satu file digital bisa berdampak pada pelanggaran privasi dan mengacaukan jalannya proses peradilan. Namun di sisi lain, banyak bukti elektronik masih disimpan dalam media penyimpanan umum tanpa enkripsi karena kurangnya infrastruktur keamanan.

Tantangan ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara aparat hukum dan ahli keamanan siber. Dengan begitu, perlindungan terhadap setiap bukti elektronik dapat dipastikan sejak tahap penyitaan hingga pengajuan di persidangan.

3. Kurangnya Kompetensi Teknis Aparat Penegak Hukum

Digitalisasi proses hukum menuntut pemahaman baru yang bersifat teknis dan normatif. Namun, banyak penyidik, jaksa, maupun hakim yang masih terbatas dalam memahami jejak digital, metadata, dan mekanisme otentikasi data elektronik. Hal ini berisiko menimbulkan interpretasi yang salah dalam menilai validitas bukti elektronik. Oleh sebab itu, upaya peningkatan pemahaman forensik digital bagi aparat hukum menjadi kebutuhan agar proses pembuktian berjalan objektif dan berbasis ilmiah, bukan asumsi teknis.

4. Tidak Ada Standar Forensik Digital yang Konsisten

Di Indonesia saat ini belum memiliki standar nasional yang sama untuk menangani bukti elektronik. Akibatnya, setiap lembaga penegak hukum cenderung menggunakan prosedur sendiri dalam menyita, mengamankan, atau menganalisis bukti elektronik. Dengan demikian, timbul potensi inkonsistensi dalam pembuktian, sebab bukti yang dianggap sah di satu institusi bisa dianggap tidak sah di institusi lain. Padahal, keadilan membutuhkan keseragaman dalam metode dan penilaian.

Oleh sebab itu, pedoman teknis nasional atau standar forensik digital terpadu yang bisa digunakan oleh seluruh aparat penegak hukum perlu dibentuk. Pedoman atau standar ini penting agar proses pembuktian elektronik memiliki legitimasi dan akurasi yang tinggi. Dengan begitu, kepastian hukum pun dapat diberikan pada semua pihak.

5. Masalah Yurisdiksi

Masalah yurisdiksi data kerap muncul karena banyak bukti elektronik tersimpan di server luar negeri atau berada di bawah pengawasan penyedia platform global. Ketika data yang dibutuhkan berada di wilayah hukum negara lain, proses permintaan informasi menjadi rumit karena melibatkan mutual legal assistance (MLA) dan protokol antarnegara yang panjang. Selain itu, perbedaan hukum data protection antarnegara juga bisa memperlambat akses terhadap bukti yang diperlukan untuk penyidikan karena penegak hukum Indonesia tidak bisa begitu saja meminta data dari server luar negeri tanpa dasar hukum yang kuat.

Adaptasi Hukum Acara Pidana di Era Digital

Langkah-langkah adaptif mulai dilakukan oleh pemerintah, regulator, dan lembaga peradilan dalam upaya membangun fondasi hukum digital yang kokoh, diantaranya:

  • Peningkatan peran Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam keamanan siber nasional.
  • Penyusunan kebijakan Kominfo tentang tata kelola data dan perlindungan informasi elektronik.
  • Pengembangan fitur e-court dan e-litigation oleh Mahkamah Agung.

     

Walaupun langkah-langkah adaptif ini sudah dilakukan, tetap diperlukan juga peningkatan literasi digital bagi aparat penegak hukum dan advokat. Literasi ini menjadi bagian dari keahlian dasar dalam proses pembuktian modern. Di sinilah pentingnya kolaborasi antara lembaga hukum dan sektor teknologi agar adaptasi hukum acara pidana proaktif menghadapi perubahan zaman.

Strategi dan Solusi

Penguatan hukum acara pidana di era digital perlu diarahkan pada langkah-langkah strategis, seperti:

  • Peningkatan kapasitas SDM dalam bidang digital forensik dan keamanan siber.
  • Kolaborasi lintas sektor antara lembaga hukum, ahli IT, akademisi, dan regulator.
  • Implementasi sistem manajemen perkara berbasis digital di firma hukum dan lembaga penegak hukum untuk menjamin akurasi, integritas, dan efisiensi.

Dalam hal ini, legal tech berperan penting dan software seperti Legal Plus hadir dalam membantu mengelola dokumen dan bukti elektronik secara aman, terorganisasi, dan sesuai standar hukum.

Menegakkan Keadilan di Era Bukti Elektronik

Bukti elektronik adalah realita yang tak terhindarkan dalam hukum acara pidana. Digitalisasi memang membawa kemudahan yang luar biasa, tetapi risiko besar yang menuntut kesiapan hukum dan teknologi berjalan beriringan karena keadilan juga tetap harus ditegakkan. Oleh sebab itu, keseimbangan antara inovasi teknologi dan kepastian hukum menjadi tantangan utama untuk memastikan keadilan tetap terjaga di era digital.

id_IDIndonesian